Part 1
Aku perempuan yang selalu memeluk lukanya sendiri. Anak pertama yang dituntut untuk menjadi contoh yang baik, sedangkan gimana caranya menjadi contoh kalau dalam proses perjalanan tidak ada yang meng-arahkan? Aku, seorang perempuan yang diberi nama Savira Diva Yana. Entah apa arti dari namaku, untuk mencari taunya pun aku tak ingin. Aku hidup tidak tinggal bersama orang tuaku, sedari kecil aku dirawat oleh kakek dan nenekku, yang biasa ku panggil dengan sebutan Mamak dan Abah.
Entah apa alasannya aku dirawat oleh mereka. Pernah sekali kutanya, mengapa? Mamak menjawab, "Iya kasian soalnya dulu itu Vira seperti bayi yang tidak ter-urus, kedua orangtua Vira sibuk dengan kegiatannya masing-masing, sering ditinggal-tinggal, pernah dulu mamak mau jengukin Vira waktu umur Vira masih 10 hari, terus pas nyampe sana malah dibiarin diatas karpet tipis dihadapkan kipas angin, ibu sama bapak Vira gak tau lagi pergi kemana pokoknya rumahnya kosong, terus itu kaki nya kayak korengan digigitin nyamuk, kan gak tegel mamak ini ngeliatnya, mana cucu pertama kok ya di giniin, jadi yaudah mamak ambil aja bawa kerumah, nak.", begitu penjelasannya. Ya apapun alasannya, apapun penjelasannya, masuk akal atau tidak, intinya aku dari kecil tidak hidup bersama kedua orangtua ku.
Aku tumbuh menjadi anak yang pintar, selalu menyandang peringkat 1 disekolah dasar dan menengah pertama. Rasa bangga Mak dan Abah selalu tercurah padaku. Kasih sayang yang mereka berikan membuatku merasa menjadi manusia damai disepanjang hidupku. Bagaimana dengan orangtuaku? Ya, mereka ada namun rasanya tidak pernah bisa untuk ku sentuh hatinya, mendekatnya pun aku segan. Terkhusus Ibuku, aku tidak pernah merasakan bagaimana rasanya ikatan batin antara anak dan ibu. Yang ku tau saat itu, aku selalu jadi yang terbelakang didalam hidupnya. Tidak masalah buatku. Yang penting masih ada Mamak dalam hidupku. Pikirku dulu begitu. Namun, semua didunia ini tidak ada yang abadi. Semua bentuk kasih sayang, rasa bangga, dan bentuk rasa aman itu tidaklah abadi untuk hidupku.
Memasuki Sekolah Menengah Atas, saat aku kenaikan kelas 2 tepat di hari pertama aku masuk ajaran baru, Abah meninggal karena darah tinggi dan sesak nafas. Saat itu aku merasa separuh duniaku runtuh. Tidak ada tempat untuk meminta pendapat. Karena selama ini kalau aku mau melangkah, pasti Abah yang selalu meng-arahkan. Tapi aku masih mencoba untuk tetap baik-baik saja karena masih ada Mamak yang membersamaiku.
Entah ini yang namanya cinta sejati atau apa, 6 bulan setelah Abah tiada, Mamak menyusul juga. Meninggal dirumah sakit. Awalnya cuma karena masuk angin, terus pingsan tak sadarkan diri, lalu dibawa kerumah sakit dan rawat inap selama kurang lebih 2 minggu. Tepat di hari rabu, Aku masih di sekolah, mendapat kabar bahwa Mamak sudah berpulang. Sepulang sekolah, aku dengan masih memakai seragam batik tidak langsung pulang kerumah tapi langsung menuju ke rumah sakit. Dengan tas berisi buku yang berat, aku berlari menyusuri lorong rumah sakit.
Disitu sudah ramai keluargaku, Bibi, Bapak, serta Pamanku yang sedang mengurus pengantaran jenazah kerumah dengan memakai ambulan. Aku? Hancur rasanya. 2 orang favorit dalam hidupku semuanya telah pergi dari dunia. Tapi aku belum nangis, pada saat itu fikiran ku kosong, bengong, dan gak ngerti kenapa hari ini harus terjadi dalam hidupku. Aku pulang bersama ambulans yang didalamnya ada jenazah Mamak dan aku dengan baju batik yang masih melekat di tubuhku. Ini serius, hidupku bakal gimana?
Setelah kepergian Mak dan Abah, dirumah hanya tersisa aku dan Pamanku yang belum menikah, dia bujang tua yang mungkin tidak akan menikah hingga ajal menjemputnya. Aku bisa merasakan betapa kesepian dan hancur hidupnya setelah ditinggal kedua orangtuanya, apalagi dia tidak memiliki istri, pasti rasanya sedih sekali. Tapi untungnya dia baik, tidak ada niat untuk berbuat jahat kepadaku meskipun pada saat itu aku hanya tinggal berdua dalam satu rumah. Sepertinya memang dia tidak mencari apapun lagi di dunia ini, dia hidup karena masih hidup.
Mungkin, karena merasa rumah itu hanya ada aku dan Paman, orang tua ku berfikir untuk apalagi ngontrak? Tinggal saja dirumah ini. Jadi, dihari ke 10 setelah Mamak meninggal, orangtua ku pindah ke rumah ini. Pada saat itulah aku tinggal dengan kedua orangtua ku. Tapi, apa kalian fikir hidupku damai, tentram, dan bahagia setelah bersatu dengan keluarga? Oh tentu tidak. Masalah demi masalah selalu hadir didalam rumah ini, kini rumah ini bukan lagi menjadi rumah yang menjadi tempat pulang.
Ribut yang tiada pernah ada habisnya setiap malam, pecahan piring yang selalu terdengar ditelinga, dan kadang aku juga yang menjadi sasaran ingin di lempar kursi. Tidak tau masalah nya apa, tapi setiap hari selalu seperti itu. Sekolahku terganggu, aku selalu tidak tidur setiap malam sampai pagi. Karena apa? Karena kalau aku tidur, aku takut pagi nya kesiangan berangkat sekolah karena sekolahku jauh harus naik angkot. Aku dan Ibuku juga tidak pernah akur, selalu saja ada masalah yang buat kami beradu mulut.
Saat ini aku telah memasuki kelas 12, hidupku rasanya tidak ter-arah. Disekolah aku benar-benar tidak bisa menerima pelajaran dengan baik. Otakku seperti kehilangan fungsi untuk memahami setiap materi yang guru jelaskan. Ini aku kenapa? Kemana otakku yang dulu selalu cepat tangkap?
Pelarianku saat ini kalau dirumah lagi berantakan, hanya kerumah bibi-bibi ku. Aku bisa tertawa oleh obrolan mereka yang di selipi lelucon. Aku punya dua bibi, yang mana mereka adalah adik dari ayahku. Yang satu bernama Warni, satunya lagi bernama Surti. Tapi yang rumahnya dekat denganku itu bibi Warni, sedangkan bibi Surti rumahnya lumayan jauh tapi masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
"Kenapa sih orang baik selalu cepat diambil Allah?", kata bibi Surti
"Iya, ya? Padahal mamak baik banget, hidupnya gak pernah punya musuh, di jahatin segimanapun juga sama orang gak pernah mau bales cuma bisa sholat terus nangis", kata ku
"Tapi, kamu mau tau ga Vir, mamak itu bilang apa pas sehari sebelum wafat?", ucap bi Surti
"Apa, bi?", aku bertanya dengan penasaran
"Katanya gini, mamak titip Savira yaa sama Uti, tau sendiri dia gimana sama orang tua nya. Sesayang itu Vir mamak sama kamu, sampe di akhir hidupnya aja masih nitipin kamu"
Aku terdiam mendengar itu. Sedih.
Kini hidupku kayak manusia yang gak ada arah. Disaat semua teman-temanku sibuk ingin memilih masuk kampus mana. Aku sama sekali tidak ada keinginan untuk ke arah sana. Aku mau cepat-cepat lulus biar bisa kerja dan pergi jauh dari rumah. Aku udah capek kaya gini. Rasanya setiap melangkahkan kaki ke sekolah itu berat sekali. Fikirku, mau nunjukkin ke siapa lagi kalau aku berhasil.
Aku benci situasi ini.
Comments
Post a Comment