Oh, Yasudah
"Mengapa kau mengabaikanku? Kau berkata bahwa akan selalu disampingku. Kau memintaku tabah dalam menjalani hidup. Aku tak ingin kehilangan seseorang untuk kedua kalinya" ucapku penuh emosi.
"Kita sudahi saja" ucapnya seraya berlinang air mata.
"Mengapa kau menangis? Kau yang menyakitiku," ucapku tak suka.
"Aku pun tidak ingin seperti ini, keluargaku menginginkan perempuan yang setara denganku, dan aku sudah mendapatkannya," ucapnya tanpa menatapku.
Aku merasa dadaku terasa sesak.
"A-aku tidak bisa bahagia denganmu. Aku terpuruk, aku seperti berjuang sendirian. Kau selalu menyia-nyiakan aku, tapi aku masih menyayangimu. Sedangkan dia,
Selalu ada untukku, cintanya lebih besar dari cintamu. Dia tak pernah berubah, walau aku memilihmu. Tapi sekarang aku memilihnya" ujarnya, dengan mantap.
"Menyia-nyiakan? Aku tak pernah melirik pria lain, aku tak pernah menduakanmu, mengapa sekarang kau membalikkan fakta?", sangkal ku dengan sinis.
"Aku tanya padamu, jika harus memilih... Kau pilih hal yang kau butuhkan atau hal yang kau inginkan?" tanyanya.
"Aku tidak memilih keduanya." jawabku.
"Mengapa?"
"Aku tak tau apa yang kubutuhkan, dan hal yang selalu kuinginkan tidak bisa selalu ku dapatkan," jelasku.
"Syifa, kau sosok yang ku butuhkan tapi sulit ku inginkan. Sejujurnya aku terpaksa bersamamu. Kau bukan tipeku. Kau tau? Aku dianggap tidak waras. Mereka bertanya mengapa aku mau dengan anak kecil?"
"Aku menerimamu apa adanya, tapi aku bukan tipemu?
Dan ka-kau, menjadikan aku pilihan kedua?
Kau tau, teman-temanku pun bertanya mengapa aku mau dengan pria yang lebih tua, aku menjawab karena aku tak memandang fisik. Tapi justru kau yang tak puas dengan fisikku.
Apa yang dia miliki sedangkan aku tidak?" tanyaku, tak terima.
"Dia memiliki kecantikan dan berpendidikan." jawabnya.
"Kau tak pernah memujiku cantik, karena dia? Bagimu aku hanya anak kecil , aku tak pernah menjadi wanita dimatamu.
Kau mencari pasangan untuk menaikkan derajat, bukan untuk mendampingi hidupmu?"
Dia terdiam.
"Jika cinta bagimu adalah fisik dan harta, aku tak bisa memberikan cinta yang seperti itu.
Aku hanya anak kurungan ayam, dengan kapasitas otak dibawah standar."
"Kau pikir aku tersenyum kau menghina dirimu sendiri?" ujarnya.
"Kau yang mengatakan itu dulu, kau tak ingat?
Haha, aku jadi teringat kau pernah berkata pada temanmu, kau lebih memilih percaya bumi berbentuk segitiga daripada harus percaya aku selingkuh. Tapi kau yang selingkuh! Apa aku lelucon bagimu?"
"Aku tidak akan seperti ini jika semua berjalan mulus.
Kau tau sendiri keluargamu, mereka semua adalah beban. Jika saja ibumu mati, aku--"
"Kau, benar-benar!" sela ku.
"Aku memang membenci Ibuku, aku lebih membencinya dibandingkan kau. Tapi aku tidak menginginkan kematiannya. Aku berharap beliau hidup lebih lama dariku."
"Kau ingin kita putus bukan?
Mari kita akhiri saja, aku bukan tipemu, kau tidak bisa bahagia bersamaku.
Kau takut tertular virus miskin bila denganku.
Semoga kau lebih bahagia dariku, agar aku mudah membencimu, sayang.
Itu akan menjadi terakhir kali aku memanggilmu seperti itu."
"Setelah ini, aku harus memanggilmu apa?" tanyanya.
"Syifa sialan, atau kau bisa memanggilku si miskin. Itu pantas disematkan untukku."
Aku meninggalkannya.
Tidak, dia yang meninggalkan aku.
Aku berjalan menatap langit dengan senyum yang dipaksakan.
"Miskin bukanlah dosa. Putus cinta bukan akhir dunia" gumamku.
Comments
Post a Comment