Selesai Sejak Lama

"Sombong sekali dirimu, setiap bertemu selalu memalingkan wajah", ucap suara berat itu ketika aku sedang mencari sendal sebelah kiri.

Dengan reflek aku menengok ke sumber suara. Siapa pemilik suara yang barusan menyapa itu.
Oh, ternyata...

"Tidak apa-apa, yasudah aku duluan ya", jawabku dengan malas menanggapi ucapan nya.

Kami pulang dengan bersimpang. Dia lurus, aku berbelok. Fikirku, apa ini? Tiba-tiba muncul dengan kalimat seperti itu. Tapi, bodoamat lah. Peduli apa dia?

"Eh, Jubaedah... Tunggu..."

Jubaedah meninggalkanku, karena aku kelamaan mencari sendal sebelah kiriku dan menjawab sapaan tidak penting itu.

"Cepat, nanti sosis Wak Kokom habis"

Di perjalanan, Aku bersama temanku cerita tentang dia yang baru saja menyapaku.

"Jadi, tadi ditegur sama dia, begitu? Terus, responmu apa, tidak kau ludahi kan dia menyapamu seperti itu?", tanya teman disampingku.

"Ya tidaklah, kau tau sendiri bagaimana aku jika berhadapan dengan dia. Responku ya biasa saja"

"Terus?"

"Ya udah, selesai. Gitu aja"

"Heran aku itu sama kamu, kenapa sih gak bisa berteman baik saja? Seperti tahun-tahun lalu, seperti saat kalian masih kecil. Main petasan bareng-bareng. Masih menyimpan dendam?", pertanyaan Jubaedah sedikit menohok.

"Maksudmu Aku dan dia main petasan bareng lagi gitu? Apa dendam? Gak gak gak, semua sudah selesai sejak dia memilih mengasingkan"

"Konyol sekali kamu ini, maksudku ya berteman baik saja. Jangan merasa canggung begitu. Sudahlah, karena dia kamu bisa bertemu dengan lelaki baik itu kan?"

"Karena dia?", Aku bertanya dengan penekanan

"Iya, karena dia kamu bisa bertemu dengan... Hmm... Siapa namanya?", Jubaedah sambil mengingat-ingat nama seseorang. "Ohh iyaa, si Sarwanto"

"Hahaha, Sarwanto itu nama bapaknya tau", tawa ku menggelegar mendengar temanku yang satu ini menyebut ayah dari pria kesayanganku.

"Halah, ya itulah pokoknya. Karena dia kan kamu bisa bertemu Sarwanto?", tanya Jubaedah sekali lagi.

"Tidak lah bukan", jawabku yang tidak mau menyangkut-pautkan dengan dia

"Iyalah, coba deh kamu fikir. Kalau saja kamu saat ini tetap dengan dia, mana mungkin kamu bisa bersama Sarwanto", sanggah nya.

"Bukan, pokoknya bukan karena dia. Dan juga ya... Jubaedahku sayang, nama dia bukan Sarwanto. Tapi Santo"

"Iyaudah deh ya. Terserah kamu", akhirnya si Jubaedah menyerah juga.

Sampai di warung sosis Wak Kokom, kami membeli beberapa macam sosis dan dibungkus.

"Wak, sosis naget nya 4, sosis ayamnya 4, dan sosis baksonya 2. Bungkus ya Wak, jangan kasih kecap. Saus nya agak di encerin.", pinta ku kepada Wak Kokom yang sedang menyiapkan penggorengan

"Jubaedah? Yang mana sosisnya?", tanya Wak Kokom

"Samain aja Wak"

"Eh eh, kayaknya itu dia deh. Edah, huyy!! EDAH!!!", Aku menyiku lengan temanku yang masih fokus memperhatikan gorengan sosis di kuali.

"Apa'an sih, dia siapa?", kemudian ia menoleh ke arah gang depan warung Wak Kokom. "Oh... Yaudah geh santai, kok gelisah gitu"

"Kok kayaknya dia mau kesini ya", ucapku

"Ya biarin, mungkin dia mau beli sosis juga", Jubaedah berkata dengan ringan

"Wak udah belum punya kami ini, buruan udah laper nih", Aku beralasan lapar, padahal ogah banget harus ketemu dia di warung ini.

"Iya-iya, ini sudah kok. Tinggal punya Jubaedah lagi yg belum garing", kata Wak Kokom sambil memasukkan sosis ke dalam plastik

Tiba-tiba suara berat itu muncul lagi, dan kini dengan jarak yang sangat dekat. Dia disampingku. Mungkin hanya jarak 5cm saja.

"Belum makan? Banyak sekali beli nya", ucapnya

"Sudah kok tadi, habis maghrib", ucapku singkat

"Oh gitu? Tapi masih lapar ya?", dia bertanya lagi

"Iya", ucapku dengan sangat singkat.
Kali ini Aku benar-benar malas berada ditempat ini. Ah Jubaedah, lama banget sosis kamu matang, batin ku.

"Wak, sosis ayamnya 3 ya. Ditusuk aja pakai lidi. Pakai kecap aja, jangan saus", ucapnya kepada Wak Kokom

"Iya sebentar ya ganteng, ini masukin punya si gadis dulu. Kasian daritadi lama nunggunya, tuh liat teman sebelahnya cemberut gitu mukanya", ucap Wak Kokom sambil melirik kearahku.
Sontak saja mata ia pun melirik ke wajahku.

"Jangan cemberut gitu sih, kayak beb.. bek. Hehe", dia sengaja menahan kata beb sepertinya.

Sosis kami sudah selesai. Kami pulang.

"Terimakasih ya Wak", ucap kami berbarengan.
"Iya cantik sama-sama", balas Wak Kokom

                                            *

Sesampainya dirumah, Aku langsung rebahan dikasur dengan memencet kipas angin nomor 2. Anginnya sejuk sampai ketubuh ini. Nomor 2 memang pas, tidak terlalu kencang dan tidak terlalu pelan.

Sudah tidak memikirkan apapun. Aku anggap saja sapaannya tadi sebagai angin lalu.

Pada akhirnya Aku sampai terlelap. Hingga pukul sebelas malam Aku terbangun karena dering telfon dari Santo, kesayanganku.

"Sayang, kok baru diangkat?", ucapnya diseberang sana

"Iya Aku ketiduran tadi. Aaahh", balasku sambil menguap

Dan kami berkomunikasi hingga mengantuk. Dia tidur dengan mengorok. Lucu sekali wajahnya dalam keadaan seperti ini. Gemas Aku melihatnya. Andai dia dekat, pasti sudah ku habiskan dengan menarik-narik hidung mancungnya itu.

*

Santo pria tegas, gagah, dan... sedikit pemarah ini Aku sangat menyayangi nya. Amarahnya sedikit demi sedikit sudah bisa ku redam. Ketegasannya dalam menasehatiku patut ku acungkan 1 jempol. 1 jempol saja ya, kalau 2 jempol terkhusus Abi ku.

Sudahlah ya segini saja ceritaku, sudah larut. Aku capek. Aku lelah. Aku mengantuk. Sampai jumpa.

Comments

Popular posts from this blog

Hmm

Bisa Apa? Bisa Gila

Akan Ku Usahakan